Ini merupakan antologi cerita yang dipersembahkan penulisnya untuk anak-anak Papua. Ada lima cerita yang dikisahkan. Masih sedikit buku lokal yang mengangkat budaya lokal, apalagi membahas Papua. Belahan Indonesia yang terkadang dilupakan.
Pembaca SOM (Sebuah Antologi untuk Anak-anak Papua) |
Saya punya saudara yang tinggal
di Papua, tepatnya di daerah Timika. Dia mengikuti suaminya di sana.
Kehidupan di Papua tidak seseram yang digambarkan berita-berita di TV.
Buktinya, dia betah-betah aja tinggal di Tanah Papua. Bahkan, jual apapun di sana bakal laris manis. Memang sih, segala kebutuhan pokok di
sana bisa dua bahkan tiga kali lipat dengan harga pada umumnya karena
terkendala masalah transportasi.
Oh ya, saya jadi teringat
beberapa film-film Indonesia yang mengupas kehidupan Papua. Salah
satunya ada di Film Di Timur Matahari dan Lost in Papua. Lewat film-film
tersebut kita bisa melihat gambaran kehidupan di Papua yang masih butuh
perhatian pemerintah.
Begitu juga dengan tulisan-tulisan Damaika Saktiani ini dalam kumpulan cerita ber-setting Papua yang sangat terasa sekali jika penulisnya mampu menciptakan kehidupan nyata di sana. Mari kita kupas satu per satu.
Melati Cina di Tanah Anim Ha.
Diceritakan sosok Ndimar yang ingin sekolah agar setidaknya bisa
belajar baca tulis dan menghitung. Di dalam kehidupan nyata, banyak
sekali Ndimar-Ndimar yang lain yang juga membutuhkan uluran tangan untuk
menimba ilmu. Cita-cita Ndimar sebenarnya sederhana sekali, tapi justru
sangat menyentuh; Ndimar ingin pandai, agar bisa bikin sesuatu yang
bagus untuk mama dan papa. Ndimar merasa tak bisa hidup harus begini,
seperti kebanyakan teman-temannya yang lain. Ndimar belajar baca tulis
supaya mengerti jaman. Supaya tidak dibodohi orang. Dari situlah asa dan
mimpi-mimpi Ndimar, Julius, dan anak-anak Papua yang lain tersambung.
Setiap orang memang tidaklah boleh putus asa dan kecewa. Tidak ada
satupun anak yang boleh kecewa. Tidak dengan Ndimar, Julius ataupun yang
lain. Mereka membutuhkan sosok-sosok pejuang seperti Maruti, untuk
mendampingi dan memahami keterbatasan mereka. Agar dapat terus berjuang.
Bukan semata demi menjadi hebat, tetapi menjadi lebih bermakna untuk
dirinya, tanah Papua, dan Nusantara.
Salam Anjing-anjing Pemburu.
Adalah si tokoh ‘aku’ yang seorang jurnalis dan memotret kehidupan
anak-anak Marind lewat tulisannya. Dia memikirkan nasib mereka,
anak-anak Marind, sebagian juga anak-anak buruh urban. Mereka punya
bapak punya mama, tapi miskin. Juga ada yang sekolah, tapi malas, lebih
sering bolos. Lewat cerita ini juga ada selipan sindiran halus untuk
pemerintah yang harusnya jadi jembatan untuk mendamaikan kesukuan dan
mengarahkan rakyat di daerahnya menuju kehidupan yang lebih baik
terkadang malah bersikap apatis. Di halaman 50-51 dapat terlihat bahwa
pemerintah melakukan bantuan hanya terkesan sebagai program formal
semata.
Buti. Lewat tulisan ketiga,
mengangkat isu tentang lahan tanah warga pribumi. Halaman 74-75
menggambarkan kehidupan warga pribumi yang kerap ditindas. Sebenarnya
untuk urusan lahan yang menimbulkan konflik tidak hanya terjadi di
Papua, di provinsi yang saya tinggali ini juga kerap terjadi konflik
akibat perebutan lahan. Kita tidak bisa melihat mana yang benar dan mana
yang salah karena terkadang samar. Tidak ada perjanjian di atas hitam
putih, inilah yang kerap menimbulkan konflik karena semua merasa benar.
Sua di Tikungan Air.
Kali ini tokoh ‘aku’ adalah seorang anak-anak. Sama seperi di cerita
yang pertama, mimpinya sangat sederhana tapi juga menyentuh.
Cita-citanya bukan jadi dokter, guru, pegawai apalagi presiden. Mimpinya
hanyalah bisa lancar membaca dan menulis. Selain itu, dia memiliki
angan-angan agar diperbolehkan ikut menaiki kapal ke Wanam, melihat
bentangan laut luas sekaligus berbisnis sopi yang memabukkan. Lewat
cerita ini kita bisa melihat di halaman 90-91 betapa pilu nasib tokoh
utama. Kita juga melihat sedikit gambaran Festival Seni Kreasi Papua di
halaman 95-96. Festival ini bisa berpotensi dijadikan satu cerita
tersendiri.
Marcelina (Sebuah Minggu di Danau Rawa Biru).
Marcelina ini kelas 3 SD. Tubuhnya rentan diserang penyakit. Oleh
karena itu dia tak sesehat anak-anak yang lain, pelajarannya saat itu
terhambat. Selain sesak napas dan sering pusing, dulu dia juga sering
kena malaria. Omong-omong jika mendengar kata Papua, selau berkaitan
dengan malaria. Konon, penyakit ini kerap menjadi penyakit wajib di
sana. Yang tinggal di sana, pasti rentan bersinggungan dengan penyakit
ini. Lewat cerita ini kita bisa melihat bagaimana perjuangan para
orangtua di Papua hanya demi selembar akta kelahiran ternyata di sana
susah sekali didapatkan; dipersulit oleh birokrasi di Dinas Kependudukan
Kabupaten, denda yang mahal dan sidang perdata di Pengadilan Negeri.
Akta kelahiran diperlukan agar sah di mata hukum dan agar bisa sekolah.
- Belajar baca tulis supaya mengerti jaman. Supaya kita nantinya tidak dibodohi orang. (hlm. 23)
- Setiap orang memang tidaklah boleh putus asa dan kecewa. Tidak ada satupun anak yang boleh kecewa. (hlm. 44)
- Permisi-permisi dimanapun kau berada. Sopanlah, santunlah, dan yang utama adalah niat luhurmu peliharalah, Tuhan akan memudahkan jalanmu. (hlm. 32)
- Mesti sekolah yang pandai ya. Berbaktilah pada mama dan papa. Buat mereka bangga. (hlm. 119)
- Yang mulanya tidak jujur dalam berkampanye, lama-lama kalau sudah naik tidak jujur pada rakyatnya. Legistlatif yang mestinya mewakili suara rakyat malahan berkhianat pada rakyat dan negerinya. (hlm. 14)
- Memang harusnya anak-anak sekolah, supaya tak bodoh seperti kita! (hlm. 21)
- Mereka tak lupa selalu ingatkan kita, sekolah memang gratis. Tapi orangtua murid harus siapkan buku, baju, sepatu, uang saku buat anak-anak kita. Kita sudah miskin, apa mau makin miskin. (hlm. 22)
Keterangan Buku: The Story of Marind
(Penulis: Damaika Saktiani, Editor: Y. Agustirto Suroyudo, Desain cover: B. Gillard, Desain back cover: Wawan Dedi, Foto-foto: Damaika S, Penerbit: Warintek Bangalore/ 2013)
Resensi oleh:
Lucty Giyan Sukarno
(catatanluckty@gmail.com)