Minggu, 15 Februari 2015

RESENSI The Story of Marind (SOM) BY LUCKTY GIYAN SUKARNO

Ini merupakan antologi cerita yang dipersembahkan penulisnya untuk anak-anak Papua. Ada lima cerita yang dikisahkan. Masih sedikit buku lokal yang mengangkat budaya lokal, apalagi membahas Papua. Belahan Indonesia yang terkadang dilupakan.


Pembaca SOM (Sebuah Antologi untuk Anak-anak Papua)
Saya punya saudara yang tinggal di Papua, tepatnya di daerah Timika. Dia mengikuti suaminya di sana. Kehidupan di Papua tidak seseram yang digambarkan berita-berita di TV. Buktinya, dia betah-betah aja tinggal di Tanah Papua. Bahkan, jual apapun di sana bakal laris manis. Memang sih, segala kebutuhan pokok di sana bisa dua bahkan tiga kali lipat dengan harga pada umumnya karena terkendala masalah transportasi.

Oh ya, saya jadi teringat beberapa film-film Indonesia yang mengupas kehidupan Papua. Salah satunya ada di Film Di Timur Matahari dan Lost in Papua. Lewat film-film tersebut kita bisa melihat gambaran kehidupan di Papua yang masih butuh perhatian pemerintah.

Begitu juga dengan tulisan-tulisan Damaika Saktiani ini dalam kumpulan cerita ber-setting Papua yang sangat terasa sekali jika penulisnya mampu menciptakan kehidupan nyata di sana. Mari kita kupas satu per satu.

Melati Cina di Tanah Anim Ha. Diceritakan sosok Ndimar yang ingin sekolah agar setidaknya bisa belajar baca tulis dan menghitung. Di dalam kehidupan nyata, banyak sekali Ndimar-Ndimar yang lain yang juga membutuhkan uluran tangan untuk menimba ilmu. Cita-cita Ndimar sebenarnya sederhana sekali, tapi justru sangat menyentuh; Ndimar ingin pandai, agar bisa bikin sesuatu yang bagus untuk mama dan papa. Ndimar merasa tak bisa hidup harus begini, seperti kebanyakan teman-temannya yang lain. Ndimar belajar baca tulis supaya mengerti jaman. Supaya tidak dibodohi orang. Dari situlah asa dan mimpi-mimpi Ndimar, Julius, dan anak-anak Papua yang lain tersambung. Setiap orang memang tidaklah boleh putus asa dan kecewa. Tidak ada satupun anak yang boleh kecewa. Tidak dengan Ndimar, Julius ataupun yang lain. Mereka membutuhkan sosok-sosok pejuang seperti Maruti, untuk mendampingi dan memahami keterbatasan mereka. Agar dapat terus berjuang. Bukan semata demi menjadi hebat, tetapi menjadi lebih bermakna untuk dirinya, tanah Papua, dan Nusantara.

Salam Anjing-anjing Pemburu. Adalah si tokoh ‘aku’ yang seorang jurnalis dan memotret kehidupan anak-anak Marind lewat tulisannya. Dia memikirkan nasib mereka, anak-anak Marind, sebagian juga anak-anak buruh urban. Mereka punya bapak punya mama, tapi miskin. Juga ada yang sekolah, tapi malas, lebih sering bolos. Lewat cerita ini juga ada selipan sindiran halus untuk pemerintah yang harusnya jadi jembatan untuk mendamaikan kesukuan dan mengarahkan rakyat di daerahnya menuju kehidupan yang lebih baik terkadang malah bersikap apatis. Di halaman 50-51 dapat terlihat bahwa pemerintah melakukan bantuan hanya terkesan sebagai program formal semata.

Buti. Lewat tulisan ketiga, mengangkat isu tentang lahan tanah warga pribumi. Halaman 74-75 menggambarkan kehidupan warga pribumi yang kerap ditindas. Sebenarnya untuk urusan lahan yang menimbulkan konflik tidak hanya terjadi di Papua, di provinsi yang saya tinggali ini juga kerap terjadi konflik akibat perebutan lahan. Kita tidak bisa melihat mana yang benar dan mana yang salah karena terkadang samar. Tidak ada perjanjian di atas hitam putih, inilah yang kerap menimbulkan konflik karena semua merasa benar.

Sua di Tikungan Air. Kali ini tokoh ‘aku’ adalah seorang anak-anak. Sama seperi di cerita yang pertama, mimpinya sangat sederhana tapi juga menyentuh. Cita-citanya bukan jadi dokter, guru, pegawai apalagi presiden. Mimpinya hanyalah bisa lancar membaca dan menulis. Selain itu, dia memiliki angan-angan agar diperbolehkan ikut menaiki kapal ke Wanam, melihat bentangan laut luas sekaligus berbisnis sopi yang memabukkan. Lewat cerita ini kita bisa melihat di halaman 90-91 betapa pilu nasib tokoh utama. Kita juga melihat sedikit gambaran Festival Seni Kreasi Papua di halaman 95-96. Festival ini bisa berpotensi dijadikan satu cerita tersendiri.

Marcelina (Sebuah Minggu di Danau Rawa Biru). Marcelina ini kelas 3 SD. Tubuhnya rentan diserang penyakit. Oleh karena itu dia tak sesehat anak-anak yang lain, pelajarannya saat itu terhambat. Selain sesak napas dan sering pusing, dulu dia juga sering kena malaria. Omong-omong jika mendengar kata Papua, selau berkaitan dengan malaria. Konon, penyakit ini kerap menjadi penyakit wajib di sana. Yang tinggal di sana, pasti rentan bersinggungan dengan penyakit ini. Lewat cerita ini kita bisa melihat bagaimana perjuangan para orangtua di Papua hanya demi selembar akta kelahiran ternyata di sana susah sekali didapatkan; dipersulit oleh birokrasi di Dinas Kependudukan Kabupaten, denda yang mahal dan sidang perdata di Pengadilan Negeri. Akta kelahiran diperlukan agar sah di mata hukum dan agar bisa sekolah.     

Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Belajar baca tulis supaya mengerti jaman. Supaya kita nantinya tidak dibodohi orang. (hlm. 23)
  2. Setiap orang memang tidaklah boleh putus asa dan kecewa. Tidak ada satupun anak yang boleh kecewa. (hlm. 44)
  3. Permisi-permisi dimanapun kau berada. Sopanlah, santunlah, dan yang utama adalah niat luhurmu peliharalah, Tuhan akan memudahkan jalanmu. (hlm. 32)
  4. Mesti sekolah yang pandai ya. Berbaktilah pada mama dan papa. Buat mereka bangga. (hlm. 119)
Beberapa selipan kalimat sindiran halus dalam buku ini:
  1. Yang mulanya tidak jujur dalam berkampanye, lama-lama kalau sudah naik tidak jujur pada rakyatnya. Legistlatif yang mestinya mewakili suara rakyat malahan berkhianat pada rakyat dan negerinya. (hlm. 14)
  2. Memang harusnya anak-anak sekolah, supaya tak bodoh seperti kita! (hlm. 21)
  3. Mereka tak lupa selalu ingatkan kita, sekolah memang gratis. Tapi orangtua murid harus siapkan buku, baju, sepatu, uang saku buat anak-anak kita. Kita sudah miskin, apa mau makin miskin. (hlm. 22)
Selain secara gamblang merepresentasikan kehidupan di Papua dengan segala permasalahannya, buku ini juga dilengkapi glosarium di akhir halaman. Kita jadi bisa tahu beberapa bahasa Papua yang diselipkan dalam antologi ini. Misalnya saja; petatas yang artinya ubi jalar, kasbi yang artinya ketela pohon, dan nipah yang artinya sejenis pohon palem.

Keterangan Buku: The Story of Marind
(Penulis: Damaika Saktiani, Editor: Y. Agustirto Suroyudo, Desain cover: B. Gillard, Desain back cover: Wawan Dedi, Foto-foto: Damaika S, Penerbit: Warintek Bangalore/ 2013)

Resensi oleh:
Lucty Giyan Sukarno
(catatanluckty@gmail.com)

Jumat, 14 Februari 2014

THE STORY OF MARIND, Sebuah Antologi Cerita (Persembahan untuk Anak-anak Papua)

Author: Damaika Saktiani
Publisher: Warintek Bangalore
Printing: Kanisius
Pages: 134
Price: Rp. 48.000,-  

The Story of Marind (SOM) consist of several stories. Long and short story. Tell about Papua childrens. Especially in their etnic and culture, life and nature, education, custom, and also art.

Marind is the biggest clan or tribe in Merauke region. They have Marind's language. In usual, Marind peoples live in as long Merauke beaches. Merauke's motto "Izakod bekai izakod kai" is taken from Marind's language that means, one heart one aim.

Therefore, this book not only for Marind peoples, but dedicated for all Papua children. SOM try to absord them. Every culture and civilitation is precious. We must respect each other.

Ndimar, Awi, and Marcelina, the role in this book just a little from a lot of Papua's child. But they are icon of new spirit of Archipelago. *ids

Indonesian:  

The Story of Marind (SOM) terdiri dari beberapa cerita. Cerita panjang dan cerita pendek. Bercerita tentang anak-anak Papua. Terutama etnis dan budayanya, kehidupan dan alamnya, pendidikan, adat, dan juga karya seninya.

Marind adalah suku terbesar di wilayah Merauke. Mereka mempunyai bahasa Marind. Orang Marind pada umumnya tinggal di sepanjang Pantai Merauke. Moto Merauke "Izakod bekai izakod kai" diambil dari Bahasa Marind yang berarti, satu hati satu tujuan.

Maka dari itu, buku ini bukan untuk orang Marind semata, namun didedikasikan untuk semua anak-anak Papua. SOM
mencoba untuk memahami mereka. Setiap kebudayaan dan peradabannya adalah berharga. Kita harus saling menghormati satu sama lain.

Ndimar, Awi, dan Marcelina, tokoh-tokoh dalam buku ini hanyalah sebagian dari anak-anak Papua. Tetapi mereka adalah lambang semangat baru dari Nusantara. *ids

Yellow bird/ Cenderawasih Irian

Jumat, 04 Mei 2012

RECENSION. Javanese Romance "Pawestri Tanpa Idhentiti"

Pawestri Tanpa Idhentiti ‘Woman without identity’

Author        : Suparto Brata
Publisher    : Narasi, 2010
Languange : Javanese (392 pages)

Romance “Pawestri Tanpa Idhentiti” told about woman who had anterograde (amnesiac). And then a woman without identity called with name Pawestri. This name getting from a man that found and helping her. 'Pawestri' in Javanese language, mean: woman, female. A merciful man that helping Pawestri is Panuluh Barata.

Because of the kind from Panuluh Barata, Pawestri can healed again. Even though his memory is not directly back as before. But by Panuluh Barata be done as his family. So, beautiful Pawestri growing be smart woman and having good career. Pawestri be a wonderful and sparkling personality.

However, son’s Panuluh Barata not like with the coming of Pawestri. One of son Panuluh Barata name Pangestu can’t receive Pawestri as new’s family. He think that Pawestri is not good woman cause found by his father in hotel in some razia police. Pangestu sure that Pawestri is bitch that can make his family shame. Even, Pangestu worry if his father fall in love with Pawestri because that woman very beautifully. He didn 't want that woman replace the position of his mother who has died. More, Pangestu really worry Pawestri take a profit from his father that very rich. From this part, conflict was begin.

CRITICS
In beginning, may readers thinking that this novel difficult enough cause tell about business and business. But in fact, when continue reading book, plot of story can be understood easily. 

About grammatical Javanese language in romance, “Pawestri Tanpa Idhentiti” may there is no need to be questioned because this is masterpiece of author Suparto Brata, ‘begawan’  or master Javanese Literature from past until now.

Interesting? Of course this novel very interesting cause this romance tell about hot issues like woman’s career, prostitution, modernitation etc. Suparto Brata try hard to making his story rich and relevan. About time, place, tools, technology, looking good and compatible.

But in many part, author, unconsciously may forget that in his story, is still feels very normative, usual, and, normally. In example, almost all the characters are being ‘forced’ to paried, married, and have children. The exception just special for the central character/ figure Pawestri, pregnant without husband. This is very show alignments of author to the central figure, and that’s feels not fair.

Not provided many populer problem at the present as delaying getting married because chase career, delaying have a child, or it’s difficult to got pregnant or have a child. Many kind problems like that very possible could stirring up of the mind and emotion of the reader.
(By: Damaika Saktiani)

Selasa, 29 November 2011

Selasa, 01 November 2011

Geguritan (Puisi Berbahasa Jawa)


Bibar Jawah Wingi Sonten

bibar jawah wingi sonten
gegana dumadakan katingal pucet
boten padhang resik kados adat saben

bibar jawah wingi sonten
baskara angslep
namung indhak-indhik
boten wantun ngatingalaken abritipun

ananging pranyata...
bibar toya langit punika sumuntak
manah punika sumilak
asrep malebet sajroning batos
nyirnakaken susahing penggalih


Jogjakarta 20 Oktober 2011 (Dimuat dalam Sangkakala edisi 9, 2010)

Terj:

'Usai Hujan Kemarin Sore'

'usai hujan kemarin sore
langit tiba-tiba terlihat pucat
tak bersih terang seperti biasa

usai hujan kemarin sore
matahari beranjak tenggelam
seperti mengintip, hanya sedikit yang terlihat
tidak berani memperlihatkan merahnya

namun ternyata
setelah air langit itu tumpah
hati ini terbuka
hawa dingin merasuk ke dalam lubuk hati
menyirnakan rasa galau dan sedih'

Jogjakarta, 20 Oktober 2010 (Sangkakala edisi 9, 2010)